A muslim’s view on the Corona Pandemic
Pada saat ini mayoritas kita terfokus pada penyebaran virus Covid-19 (Corona) dengan respon yang berbeda-beda, mulai dari respon yang paling ekstrem seperti ‘super’ panik sampai dengan yang ‘terlihat’ cuek atau pasrah.
Tulisan ini sebagai bahan muhasabah bagi penulis, dan mungkin bermanfaat bagi rekan-rekan semua, khususnya sebagai gambaran bagaimana seorang mukmin menghadapi situasi seperti saat ini.
Berdasarkan data WHO United Nations, sampai dengan tanggal 13 Maret 2020, terlihat peningkatan yang sangat tajam pada jumlah penderita virus Corona. Jumlah terbesar, selain China, terdapat di negara Italia sebanyak 17.611 kasus, diikuti Iran (11.364), Korea Selatan (8.084), Spanyol (4.231), dan Perancis (3.625).
Meskipun demikian, kita masih dapat bersyukur karena kita tidak sedang berada/tinggal di antara lima negara tersebut.
Terdapat dua hal yang dapat direnungkan, yaitu:
Pertama, dengan melihat fakta di atas, sangat penting bagi kita, sebagai Mukmin, untuk tetap ‘berusaha’ menjaga diri dan keluarga kita agar dapat terlindungi dari virus tersebut. Usaha adalah bagian dari rasa syukur dan tawakal kita dalam kehidupan ini.
Dalam riwayat hadits yang masyhur, diceritakan bahwa seorang sahabat diingatkan untuk mengikat unta miliknya, sebelum masuk ke masjid, lalu layak untuk ‘tawakal’. Riwayat ini menjelaskan bahwa kita harus berusaha sebelum berserah diri kepada Sang Pencipta.
Usaha yang sangat mungkin untuk dilakukan saat ini adalah dengan mengikuti semua arahan dari otoritas setempat (pemerintah, universitas, komunitas, dsb.).
Sebagai contoh, kebijakan pada masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya, yaitu larangan berpergian ke tempat wabah penyakit berada, dan tidak keluar dari sebuah tempat, di mana wabah telah terjadi.
Upaya lainnya yaitu menjaga kebersihan, kesehatan dan imunitas tubuh dengan mengkonsumsi makanan/suplemen kesehatan seperti buah-buahan, madu, habbah sauda, minyak zaitun, wedang jahe dan uwuh.
Kedua, corona pandemic, dalam cara pandang (worldview) Mukmin, adalah sebuah ujian. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran (2:155), yang intinya adalah Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan menguji kita dalam bentuk (ujian) ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kematian dan kelangkaan buah-buahan (makanan).
Paling tidak, yang paling kita rasakan saat ini adalah ujian ‘ketakutan’. Namun, cara untuk lulus ujian tersebut disebutkan pada ayat berikutnya, yaitu dengan ber-‘Sabar’ (berilah kabar baik/gembira kepada orang-orang yang bersabar).
Apa itu sabar dan bagaimana bersabar? dijelaskan pada ayat selanjutnya yaitu mereka yang ketika mendapatkan musibah mengatakan ‘kami adalah benar-benar milik Allah, dan sebenarnya kepada-Nya kami kembali’.
Kemudian, ditegaskan bahwa mereka benar-benar akan mendapatkan berkah dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka termasuk yang mendapatkan hidayah (petunjuk yang benar).
Selain itu, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengajarkan kita untuk berdoa setiap pagi dan petang (ma’tsurat), yang jika diamalkan akan terhindar dari musibah, salah satu doanya adalah “ya Allah, sehatkanlah badanku, ya Allah, sehatkanlah pendengaranku, ya Allah, sehatkanlah penglihatanku”.
Pada intinya, ketika kita diberi ujian, hakikatnya, Tuhan sedang melihat dan menunggu, apakah dengan ujian kita akan mengingat dan mendekat kepada-Nya atau lebih disibukkan dengan sesuatu selain-Nya.
Sebuah kondisi yang normal apabila kita takut/gelisah/resah dalam menghadapi ujian ini, namun apakah kita tidak lebih takut apabila termasuk yang dinyatakan tidak lulus dalam ujian tersebut? Wallahu A’lam bishawab.
Semoga kita semua diberikan kekuatan dan kelulusan dalam menjalani ujian ini, serta diberikan keselamatan di dunia dan akhirat. Amin.
London, Winter 2020
Royyan R. Djayusman
* doa ma’tsurat tersedia di playstore.
Royyan Ramdhani Djayusman adalah mahasiswa PhD di Kingston University London.
Beliau alumni Pondok Modern Darussalam Gontor (2002) dan
Institut Studi Islam Darussalam Gontor (2006). Beliau menyelesaikan program master di Universitas Gadjah Mada 2010.