Tausiyah Online Kerjasama Kibar UK, Lokaliti Edinburgh, Belfast, dan Human Aid Initiative
Narasumber: Ust. Farid Nu’man Hasan
Topik: Fiqh Shalat
Waktu: Sabtu, 27 February 2021, 12.45 GMT/19.45 WIB
Apa arti shalat?
Secara bahasa artinya addua bikhair atau doa kebaikan. Dalam QS. At Taubah: 103 juga disebutkan bahwa dianjurkan atau sunnah mendoakan orang yang membayar zakat. Cara doanya adalah dengan menyebutkan nama orang yang berzakat.
Secara fiqh artinya: Perkataan dan perbuatan yang di mulai dengan takbir dan ditutup dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu (Al Fiqhu ‘alal Madzahib al Arba’ah, 1/160). Definisi shalat dalam beberapa kitab yang lain ada yang lebih panjang dari ini, misalnya ditambahkan adanya niat.
Kapan shalat diwajibkan?
Shalat sudah ada pada zaman para nabi sebelumnya, dengan tata cara, waktu, dan jumlah, yang tidak sama. QS. Al Baqarah: 43 menerangkan tentang Bani Israil. Ada syariat-syariat yang sudah lebih dahulu ada sebelum zaman Nabi Muhammad ﷺ.
Syariat ini kemudian dibagi menjadi dua: ada yang tetap menjadi syariat kita, dan ada juga yang sudah dihapus. Contoh yang tetap menjadi syariat kita sampai sekarang: shalat, qurban, zakat, haji, khitan, puasa Daud. Sedangkan contoh syariat yang sekarang sudah dihapus: kebolehan adanya patung-patung makhluk bernyawa.
Di zaman islam, shalat diwajibkan saat Isra’ Mi’raj yang disebutkan terjadi di bulan Rajab. Dulu ketika awal-awal shalat diwajibkan itu 50 waktu. Kemudian dikurangi hingga sampai hanya 5 waktu.
Kapan Isra’ Mi’raj terjadi? Tidak ada perbedaan pendapat mengenai shalat diwajibkan ketika Isra’ Mi’raj terjadi, dan tentang terjadinya Isra’ Mi’raj itu sendiri karena diceritakan di dalam Al-Qur’an. Yang menjadi perbedaan pendapat di antara ulama adalah hari H terjadinya Isra’ Mi’raj karena tidak ada riwayat yang benar-benar sahih yang bisa dijadikan rujukan paling kuat. Yang paling banyak diyakini adalah 27 Rajab, walaupun masih banyak yang mengingkari tanggal ini.
Kedudukan shalat dalam islam
Pertama, shalat adalah rukun islam. HR. At Tirmidzi No. 2616 menyebutkan Pokoknya urusan adalah islam dan tiang-tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.
Kedua, yang pertama kali di hisab di akhirat. Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan: Dalam Islam, shalat memiliki kedudukan istimewa yang tidak sebanding dengan ibadah lainnya, shalat adalah tiang agama yang agama tidak akan tegak tanpanya. Syaikh Abdullah Al Qadiri Al Ahdal berkata: hukum mengingkari salah satu rukun iman atau rukun islam maka tidak samar lagi bagi para penuntut ilmu bahwa itu adalah murtad jika dilakukan oleh kaum muslimin, bahkan jika mengingkari hukum-hukum islam yang telah pasti haramnay seperti khamr, riba, zina, maka itu murtad, maka bagaimana dengan yang mengingkari rukum iman?
Macam-macam hukum salat:
- Fardhu ain: shalat lima waktu (tidak mungkin digantikan oleh orang lain)
- Fardhu kifayah: shalat jenazah (sebagian sudah melakukan, maka gugur kewajiban yang lain)
- Shalat sunnah: rawatib, dhuha, isyraq, tahajud, istisqa, witir, taubat, tahiyatul masjid.
Imam Abu Hanifah mengatakan witir adalah wajib. Wajib yang dimaksud disini lebih mirip dengan sunnah muakkadah, karena bukan merupakan fardhu ain. Terdapat juga perbedaan mengenai shalat idul fitri, dimana ada yang mengatakan wajib, ada yang mengatakan sunah kifayah.
Bagaimana cara membedakan shalat itu merupakan wajib atau sunah?
Shalat wajib itu diawali dengan adzan dan iqamah, sedangkan shalat sunah tidak.
Selain itu, Nabi Muhammad ﷺ ketika ditanya oleh Arab Badui tentang shalat fardhu, dan Nabi menyebutkan shalat yang lima. Lalu Arab Badui itu bertanya apakah ada yang selain itu. Dijawab oleh Nabi: Tidak ada , kecuali yang sunah. (HR. Bukhari No. 46). Hal ini menegaskan bahwa shalat yang wajib dalam islam itu hanya shalat 5 waktu, tidak ada tambahan yang lain.
Meninggalkan shalat wajib
Pertama, tidak shalat karena mengingkari/menolak kewajiban shalat. Para ulama telah ijma’ (konsensus) bahwa orang yang menolak kewajiban shalat adalah kafir murtad dan mesti dimintai taubatnya. Kalau dia bertaubat, maka diterima taubatnya. Jika tidak bertaubat maka dihukum mati oleh mahkamah syariah, jika terjadi di negara islam. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 227/53)
Kedua, tidak shalat karena malas atau meremehkan tapi masih mengakui wajibnya. Pendapat pertama tentang alasan ini adalah, masih muslim namun fasiq dan dosa besar. Semua mahzab mengatakan bahwa orang ini masih muslim, kecuali mahzab Hambali yang meyakini bahwa orang-orang ini sudah keluar dari islam. Dalil dan hadits yang mendukung bahwa mereka masih muslim adalah QS. An Nisa: 48 dan HR. At Tirmidzi No. 413.
Ketiga, tidak shalat karena tertidur atau lupa. Hal ini dimafaakan karena memang dalam hadits disebutkan ada 3 kelompok manusia yang pena itu diangkat dari mereka. Siapa mereka? Salah satunya adalah kesalahan dari orang tidur sampai dia bangun. Ketika benar-benar lupa, maka shalat lah ketika ingat, dan shalat nya sesuai urutan waktunya, kecuali sedang ikut jamaah.
Tidak ada tebusan shalat kecuali dengan shalat.
Para ulama telah sepakat tentang wajibnya mengqadha shalat bagi orang lupa dan tertidur. Perbedaan pendapat itu muncul mengenai orang yang baru mulai shalat beberapa tahun setelah dia wajib shalat. Ada yang berpendapat bahwa tetap wajib qadha. Pendapat lainnya adalah bertakwa lah semampu kamu, jadi sebisanya kita untuk menqadha shalat. Pendapat lainnya lagi adalah dengan taubah nasuha.
Tanya Jawab
Pertanyaan: Apakah shalat nawafil? Sepertinya ini istilah umum mahzab Hanafi di UK.
Jawaban: nawafil itu istilah jamak dari nafilah. Artinya adalah ibadah tambahan atau sunah. Dalilnya dari Al-Quran: Pada sebagian malam, bangunlah kamu untuk shalat tahajud, itu tambahan bagimu. Nafilah merupakan nama lain dari ibadah sunah.
Pertanyaan: Mohon penjelasan hukum niat shalat yang diucapkan dan yang tidak diucapkan.
Jawaban: untuk masalah niat, para ulama sepakat bahwa niat di dalam hati itu wajib. Bagaimana dengan yang di lisan? Pandangan ulaman beragam. Kalau misal kita meyakini bahwa niat lisan itu wajib, silahkan tapi jangan melabeli orang lain yang tidak niat dengan lisan. Begitu juga kebalikannya.
Kenapa sampai ada perbedaan?
Adalah kasus ketika Rasulullah pulang pagi ingin sarapan dan bertanya ke Aisyah. Jawaban Aisyah adalah maaf saya tidak ada makanan. Ternyata jawaban Rasulullah adalah: “kalau begitu saya berpuasa”. Ucapan ini bagi sebagian ulama dianggap sebagai mengatakan niat berpuasa. Ini dikisahkan dalam hadits shahih. Belum lagi dikaitkan juga dengan niat haji dan umrah yang biasanya juga diucapkan dengan lisan.
Kesimpulannya: ini perbedaan pendapat fikih. Yangpenting kita harus tetap toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak ada dalil yang tegas mengatakan iya atau tidak.
Pertanyaan: Mohon pendapat Ustadz kalau kita rajin shalat sunnah tetapi shalat wajib kadang tidak di awal waktu karena kemalasan.
Jawaban: yang namanya shalat itu memang kewajiban yang ada waktunya. Ada waktu awal, tengah, akhir. Selama masih dilakukan di waktu-waktu itu, dia masih dihitung sah. Tapi emang ada waktu afdol, seperti misalnya di awal waktu. Ada waktu mubah, ada waktu makruh.
Ada kaidah yang berbunyi dari Abu Bakr As Siddiq: orang yang begitu rajin dengan ibadah sunah nya, tapi yang wajibnya keteteran, hati2 sunahnya bisa tidak diterima. Ini jika memang yang wajibnya sampai tidak dilakukan.
Pertanyaan: Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh, jazaakallah khair Ustadz atas sharing ilmunya. Pengalaman kami di Edinburgh ketika summer untuk sholat fardhu terutama isya dan subuh waktunya cukup ekstrim. Dengan maghrib yang misal di pukul 22 malam, isya pukul 24 dan subuh pukul 1.30. Dalam hal seperti ini apakah ada keringanan dalam pelaksanaan sholat isya, misalkan melaksanakan isya di akhir waktu yang mendekati subuh sehingga kami dapat tidur sejenak setelah selesai sholat maghrib, atau bagaimana Ustadz. Apakah shalat subuh dilakukan mendekati waktu syuruq (misal syuruq pukul 04.00) Mohon penjelasan dari Ustadz. Jazakallah khair.
Jawaban: terlepas itu risiko untuk yang tinggal disana, sebenarnya secara fiqh harus ada solusi juga. Untuk Isha, memang justru disunahkan mentakhir atau menunda. Kalau memang Isha itu harus ditunda, hal itu malah menjadi sunah. Hal ini juga dilakukan sendiri oleh Rasulullah kalau shalat Isha. Tapi kenapa Rasulullah tetap shalat di awal? Karena khawatir akan menyulitkan umat nya, akan berat untuk umat nya kalau harus shalat tengah malam. Jadi kalau memang harus mengakhirkan shalat Isha silahkan, tapi juga ada aturannya, yaitu tidak sampai juga menjelang Subuh.
Boleh tidak shalat itu di jamak? Sebenarnya kan itungannya kalian adalah musafir, yang sudah jauh lebih dari 88km. Untuk musafir itu boleh di qashar, tapi boleh kah sekalian di jamak? Ketika sebuah shalat sudah boleh di qashar karena faktor pejalanan, maka jamak juga diperbolehkan.
Berapa lama boleh melakukan hal itu?
Tergantung tipe perjalanannya.
Jenis pertama itu safarnya bakal pindah domisili ke tempat baru. Jenis pertama ini maka jamak dan qashar nya hanya diperbolehkan selama melakukan perjalanan saja.
Jenis kedua, kalau safarnya ada jadwal pulangnya yang jelas, diperbolehkan jamak dan qashar untuk 4 hari saja.
Jenis ketiga, safar yang pulangnya kapan tidak jelas. Selama itu mereka disebut musafir dan boleh jamak dan qashar. Perlu diingat bahwa jamak itu bisa dilakukan dengan berbagai macam alasan dan merupakan hadiah dari Allah SWT untuk umat-Nya. Boleh dilakukan asalkan tidak menjadi kebiasaan.
Pertanyaan: Assalaamu’alaykum, Ustadz. Bertanya tentang sujud Sahwi. Semisal kita terlupa tahiyat awal, teringat saat masuk rakaat ke-3. Bagaimana tatacara sujud sahwinya? apakah perlu mengganti tahiyat awal itu?
Jawaban: Hal ini pernah dialami oleh Rasulullah, ketika tahiyat awal tetap berdiri hingga tahiyat akhir. Jadi Rasulullah sama sekali tidak melakukan tahiyat awal. Bagaimana sujud sahwinya? Sebelum salam, sujud sahwi 2x. Apa bacaannya? Tidak ada bacaan yang shahih membicarakan tentang bacaan sujud sahwi. Jadi bacaannya sama seperti bacaan sujud biasa. Bagaimana kasusnya kalau shalat berjamah? Kalau berdirinya sudah terlanjur tegak, maka teruskan saja. Tapi kalau berdirinya baru setengah, tapi kemudian ada makmum berkata subhanallah, maka kalau begitu duduk, karena belum sempurna berdirinya.
Pertanyaan: Kita tidak mau bermakmum kepada imam yang kita tidak suka. Bagaimana?
Jawaban: Ada 3 kelompok manusia yang sia-sia atau tidak diterima shalatnya. Salah satunya adalah imam yang dibenci oleh kaumnya atau makmumnya. Tapi ini ada beberapa syaratnya. Pertama, kalau yang membenci imam itu adalah mayoritas makmum. Kedua, jika sebab kebenciannya itu dibenarkan oleh syariat, misalnya karena faktor kefasikan imam. Tapi kalau alasannya karena alasan pribadi, alasannya tidak dibenarkan.
Notulis: Cintya Aurora Dyah Nastiti