Sebagian orang lebih memilih menyalurkan zakat secara mandiri tanpa melalui lembaga. Namun, sebagian yang lain menyatakan bahwa zakat mesti disalurkan kepada lembaga sebagaimana perintah dan sunnah. Tulisan ini mencoba menyajikan kedua perbedaan tersebut, sekaligus menjawab pertanyaan “mengapa zakat harus lewat lembaga?”.
Bagi muzakki yang membayar zakat secara langsung, setidaknya dapat dianalisis memiliki dua alasan utama. Pertama, kepuasan ( utility) lebih terasa khususnya ketika berinteraksi langsung dengan penerima zakat (mustahik). Kepuasan inilah yang menjawab pertanyaan mengapa ‘profesi’ pengemis masih tetap eksis.
Alasan kedua adalah kebebasan memilih mustahik. Artinya, muzakki memiliki kuasa untuk menentukan kepada siapa zakatnya diberikan, mulai dari jalur keluarga, tetangga hingga binaan kolega.
Dapat disimpulkan, muzakki, dengan menyalurkan secara mandiri, akan lebih merasakan kepuasan dan kebebasan.
Sebaliknya, terdapat tiga alasan membayar zakat melalui lembaga. Pertama, menjadikan ‘niat’ semakin terjaga. Niat zakat yang utama, adalah melaksanakan perintah agama, karena setiap harta yang diterima, ada hak (titipan) untuk mereka yang membutuhkan (QS. 51:19).
Apabila utiliti menjadi motivasi, maka akan menguatkan adanya teori warm-glow giving dan impure-altruism (Andreoni, 1990), yang intinya tidak ada kedermawanan murni, melain manusia menikmati sesuatu dari aktivitas memberi – the joy of giving. Sebelumnya, Oslon (1965) menyebut hal ini sebagai motif psikologi.
Padahal, kebahagiaan dan kepuasan hakiki seorang muzakki mukmin adalah ketika mampu menunaikan perintah Ilahi, yang bersih ( khalish) dari kepentingan pribadi.
Selanjutnya, alasan kedua, zakat via lembaga lebih maslahat. Hal ini dikarenakan distribusi lebih terorganisasi, tumpang tindih semakin berkurang, martabat penerima tetap terhormat, bahkan lebih selamat.
Kasus ‘zakat maut’ tahun 2008 di Pasuruan adalah contoh absennya koordinasi dan organisasi, yang menjadikan posisi mustahik kurang terhormat, karena harus bersesak-desakan, bahkan sebanyak 21 jiwa pun sekarat, yang akhirnya tak selamat.
Selain itu, tragedi ini juga menjelaskan adanya ‘kepuasan’ pribadi, dari aktivitas face to face dengan penerima yang terkadang diposisikan kurang terhormat. Padahal, pada hakikatnya, mereka tidak sedang menerima kebaikan dari seseorang, melaikan mengambil hak rizki mereka yang dijanjikan Sang Pencipta (QS. 11:6). Sehingga tidak perlu ada rasa ‘utang budi’ apalagi hubungan reciprocity (timbal balik) dari penerima kepada pemberi.
Alasan lainnya adalah zakat itu diambil/dipungut – khudz (QS. 9:103) oleh petugas – amil. Artinya, ada otoritas atau lembaga yang bertugas mengambil dan menyalurkannya. Perintah ini dipraktekkan sejak zaman Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin, dan seterusnya.
Otoritas atau lembaga yang dimaksud, saat ini, dapat berupa BAZ, LAZ, panitia zakat desa atau masjid di lingkungan tempat tinggal. Artinya lembaga yang mampu mengambil zakat dan mengembalikkannya kepada orang yang berhak di lingkungan wilayah zakat dipungut ( tukhadzu min aghniya-ihim wa turaddu ‘ala fuqaraa-ihim – HR. Bukhari)
Oleh karena itu, zakat lewat lembaga lebih menjaga niat, lebih banyak manfaat daripada mudharat, dan yang lebih penting, itu merupakan perintah, yang telah dipraktekkan dalam sunnah.
Wallahu A’lam.
London, 18 Ramadhan 1441
Royyan R. Djayusman
Awardee 5000 Doktor LN
Kementerian Agama RI