Reading supplement #11
Ditulis oleh: Andika Yudha Utomo
“Ini adalah dunia yang terbelah, kota dengan dua kubu – religius, sekuler; kuno, modern; Timur, Barat. Secara geografis berada di perbatasan antara Eropa dan Asia, kota yang tak lekang oleh waktu ini secara harfiah menjadi jembatan dari Dunia Kuno… menuju dunia yang lebih kuno. Istanbul ” – Dan Brown, dalam Inferno
Catatan perjalanan dua anak manusia, yang sedang dianugerahi kesempatan belajar di negeri Britania, yang berusaha mengisi liburan Paskah dengan kegiatan yang tidak biasa, terbang ke ibukota Turki kuno – Istanbul.
***
Selasa, 22 Maret 2016.
Pagi itu aku berkemas, memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam tas ransel besarku, beserta beberapa tangkap roti untuk mengganjal perut di perjalanan. Maklum, mahasiswa, kami selalu perhitungan dengan pengeluaran kami, agar sepulang ke kampung nanti ada cukup tabungan untuk masa depan yang lebih baik. Ya, makanan ringan seharga 5 Euro di bandara transit kami, Schiphol Amsterdam, kami anggap cukup mahal. Lebih baik membawa bekal beberapa potong roti dari Lidl seharga 1 pound, cukup untuk mengganjal perut nanti selama empat jam transit di bandara megah di negeri kincir angin itu.
Aku tiba di terminal 3 Bandara Internasional Manchester sekitar pukul 11:00. Setelah melewati beberapa pemeriksaan keamanan dan dokumen, aku naik ke pesawat KLM, duduk di posisi favoritku, samping jendela. Pesawatku lepas landas sekitar pukul 13:00. Kulihat Manchester dari awang-awang, “Sampai jumpa empat hari lagi!”, kataku.
***
Segala puji bagi Allah, perjalananku hari ini lancar tanpa halangan berarti. Setelah transit empat jam dan menjamak sholat, aku melanjutkan perjalanan ke Istanbul menggunakan maskapai yang sama. Perjalanan dari Amsterdam ke Istanbul memakan waktu tempuh kira-kira empat jam. Aku tiba di Bandara Ataturk sekitar pukul 1:00 dini hari. Tidak ada koneksi Internet gratis di bandara itu, sejenak aku kehilangan arah sebelum akhirnya memutuskan untuk sholat di mushala kecil bandara, dan terlelap hingga subuh tiba.
Selesai sholat subuh, aku merapikan pakaian dan berkemas, bersiap keluar bandara. Pagi itu, aku dan Bening akhirnya sepakat untuk menuju kamar AirBNB yang telah kupesan sebelumnya, untuk bersih-bersih, menaruh tas, dan melanjutkan perjalanan.
Pagi itu kami mendapatkan teman baru, David, seorang explorer berkebangsaan Kanada yang kebetulan singgah di flat yang sama denganku. Akhirnya kami memutuskan untuk menjelajah Istanbul bersama-sama untuk hari itu.
Setelah berdiskusi, kami bertiga melaju menggunakan bus umum ke Eminönü, daerah di tepi selat Bosphorus yang merupakan tempat transit kami sebelum berjalan kaki ke tujuan utama hari itu, Hagia Sophia dan Masjid Sultanahmet.
Kita menyadari satu hal, di Istanbul ada banyak masjid imperial yang arsitekturnya serupa. Pertama kali aku melihat masjid dari jauh, aku kira itu adalah Masjid Sultanahmet yang terkenal, namun ternyata setidaknya ada tujuh masjid yang terlihat di sejauh pandangan ke arah selat Bosphorus.
Masjid terdekat dari Eminonu adalah Yeni Camii (New Mosque). Walaupun namanya “Masjid Baru”, sebenarnya bangunan ini mulai dibangun tahun 1597 berdasarkan perintah dari Sultana Sofiyah, istri dari Sultan Murat III pada masa itu, dan selesai pada 1665. Meskipun sudah berumur ratusan tahun, bangunan dari bata putih ini terlihat masih megah dan kokoh, serta masih digunakan untuk mengumandangkan adzan dan mendirikan sholat lima waktu.
Beranjak dari masjid tersebut, kami menelusuri street market dan beberapa jalan menanjak menuju Grand Bazaar (Kapalıçarşı). Konon katanya, Grand Bazaar ini adalah salah satu pasar beratap terbesar dan tertua di dunia, terdapat sejumlah 61 jalan kecil dan 4000 toko di pasar ini. Selain itu, pasar ini juga terkenal memusingkan, kita bisa kehilangan arah jika sudah berada di dalamnya, apalagi setiap persimpangan terlihat serupa dan makin dipusingkan dengan sejumlah besar manusia yang berlalu-lalang.
Pasar ini didominasi oleh penjual oleh-oleh khas Turki seperti Turkish Delight, karpet, lampu, dan toko perhiasan. Bagi aku yang tidak membawa banyak orang, pesona kemegahan pasar ini jauh terasa lebih mengesankan dibanding barang-barang yang dijual. Hehe.
Setelah puas berkeliling, kami singgah di tempat makan kaki lima yang menawarkan menu kebab ayam dan kebab daging. Aku memilih kebab daging dengan harga 8 lira, cukup terjangkau jika kubandingkan dengan kurs pound sterling. Hampir semua makanan yang dijual di Istanbul halal, oleh karena itu kita tidak perlu terlalu pusing memilah makanan. Selain itu, juga banyak kedai makanan murah dengan harga 11:12 jika dibandingkan dengan harga makanan di Jakarta.
Di perjalanan menuju Sultanahmet Square, kami tidak sengaja melewati salah satu kampus tertua dan terbesar di Turki, Universitas Istanbul. Kampus ini didirikan tahun 1453, sesaat setelah penaklukan kota Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Beliau berpendapat bahwa untuk membangun negara yang kokoh, agama dan pendidikan harus diutamakan. Maka tidak heran bahwa Universitas Istanbul berlokasi dekat dengan Masjid Hagia Sophia dan Istana Topkapı, tempat tinggal keluarga sultan Turki.
Ada banyak burung merpati di sekitar Beyazit Square, alun-alun luas di depan pintu masuk utama Universitas Istanbul.
Di dekat kampus juga ada jalan kecil tempat para penjual buku, alat tulis, fotokopi, dan kebutuhan kuliah lainnya. Tempat ini sangat mirip dengan Kober di kampus UI Depok (yang sekarang sudah digusur). Berjalan di tempat ini mengingatkan aku tentang memori kuliah di UI beberapa tahun silam. Di sini mahasiswa dan pedagang berinteraksi satu sama lain.
Setelah berjalan kaki beberapa saat, alhamdulillah kami tiba di tempat tujuan utama kami untuk hari ini, Sultanahmet Square dan bangunan tua di sekelilingnya. Bangunan bersejarah pertama yang kami singgahi adalah Masjid Biru atau juga disebut Masjid Sultanahmet.
Ketika mendengar nama “Masjid Biru” ekspektasiku itu akan melihat masjid dengan eksterior berwarna biru langit, namun nyatanya tidak demikian. Bagian luar masjid ini didominasi oleh warna putih keabu-abuan yang terlihat sangat kokoh meskipun sudah berumur. Ya, masjid ini dibangun tahun 1609 pada saat pemerintahan Sultan Ahmet 1. Dilihat dari luar maupun dari dalam, masjid ini sangat megah dengan arsitektur yang sangat kompleks dan indah. Bagian dalam masjid ini dihiasi oleh banyak lampu setengah redup dan dikelilingi oleh tembok berwarna biru (sekarang kita tahu mengapa masjid ini dinamai “Masjid Biru”), pokoknya menimbulkan kesan “Masya Allah” dan mulut menganga ketika melihat interiornya.
Di luar waktu sholat jumat, wisatawan dipersilakan masuk ke dalam masjid secara gratis. Namun, ada beberapa peraturan yang harus dipenuhi, seperti melepas alas kaki dan menutup aurat. Pihak pengelola masjid menyediakan sejenis kerudung bagi wanita yang tidak berkerudung untuk dapat memasuki masjid.
Satu hal lagi yang unik, masjid yang berlokasi di salah satu sisi Sultanahmet Square ini memiliki posisi behadap-hadapan dengan dengan Hagia Sophia yang sebelum tahun 1920 juga berfungsi sebagai masjid. Bisa dibayangkan dalam satu alun-alun ada dua masjid super megah dengan posisi berhadapan.
Inilah Hagia Sophia, yang mulanya adalah gereja di tengah kota Konstantinopel, lalu dialihfungsikan menjadi masjid sesaat setelah penaklukan oleh Sultan Al-Fatih, dan sekarang berfungsi sebagai museum setelah runtuhnya Turki Utsmani sekitar tahun 1920. Bangunan ini pernah menjadi bangunan termegah di dunia pada zaman pertengahan, dan sekarang masih berdiri dengan kokoh walaupun banyak terlihat cat yang mengelupas di sekelilingnya.
Memasuki Hagia Sophia membuat bulu kuduk bergidik, terbayang kembali perjuangan Muhammad Al-Fatih ketika menaklukkan kota ini dan membuktikan sabda Rasulullah,
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)
Beliau dan pasukkannya tidak menaklukkan Konstantinopel tanpa persiapan. Sudah ada banyak pasukan-pasukan terdahulu yang mencoba menerobos benteng kokoh kota ini, namun tidak ada yang berhasil. Beliau, dengan didikan dari orangtua dan guru-gurunya, berambisi untuk membuktikan kebenaran hadits tersebut dan melakukan persiapan fisik, mental, dan ibadah bertahun-tahun sebelum akhirnya Allah mengizinkan beliau dan pasukannya menaklukkan kota tersebut.
Mengunjungi Hagia Sophia seperti membuka kembali memori lama tentang kejayaan umat Islam yang ditorehkan oleh pejuang-pejuang terdahulu, memperbaharui kembali motivasi kita untuk menjadi sebaik-baik umat, seperti yang tertulis dalam Al-Quran.
Demikian perjalanan saya di hari pertama. Nantikan kelanjutan cerita perjalanan Istanbul kami di SMS episode berikutnya 🙂
(*)
https://www.facebook.com/notes/pengajian-karisma-manchester/negeri-yang-terbelah-bagian-1/731002020373170