[bgmp-map categories=”indonesian, safar-i, lokaliti” center=”bratislava” height=”300″]
Kontributor: Pengajian Karisma Manchester, Muhammad Beni Saputra & Muhammad Zulfikar
Mentari pagi itu masih bersembunyi malu di sudut timur Bratislava, ibukota Slovakia. Berjalan menembus kabut pagi di tengah kepungan barisan toko, restoran, dan kerumunan manusia yang lalu lalang, kami menuntun langkah penuh semangat demi mencari sumber nafas Islam yang telah terlupakan di kota bekas pusat kerajaan Hungaria ini. Bukan perkara mudah memang. Setidaknya kami menghabiskan waktu kurang lebih dua jam menelusuri jalan Obchodná.
GPS yang ada di Smartphone menunjukkan bahwa masjid yang kami cari terletak di belakang sebuah bangunan bernama Prima Banka. Namun tidak selamanya teknologi bisa diandalkan. Buktinya setelah kami kesana tidak ada bangunan apapun di belakang gedung bertingkat itu. Kosong melompong. Akhirnya kami putuskan untuk bertanya kepada para pejalan kaki yang ada di sepanjang Obchodná Street. Tapi lagi-lagi hasilnya meleset. Tak ada dari mereka yang menunjukkan tanda-tanda bahwa ada masjid di sekitar kota. “Is there a mosque here? I don’t think so,” respon seorang paruh baya, sambil mencari konfirmasi kepada teman di sebelahnya. Kami menyimpulkan agaknya pertanyaan seputar masjid memang masih tergolong pertanyaan aneh di Bratislava. Tapi kami tak patah arang. Setelah dipikir lagi, boleh jadi ketidaksuksesan kami dipengaruhi oleh bahasa. Oleh karena itu kami coba mengganti kata ‘mosque’ dengan bahasa setempat untuk masjid, ‘Mešita’. Namun hasilnya tetap nihil.
Tanpa mengenal putus asa, kami melanjutkan pencarian. Kami yakin sekali bahwa, umat Islam bisa ditemukan di belahan bumi manapun tak terkecuali Bratislava. Logikanya adalah muslim dimanapun mereka memerlukan tempat sholat. Jadi masjid sangat mungkin ada di kota ini meskipun belum berhasil kami temukan.
Tengah asyik berjalan kami menjumpai sebuah pasar tradisional yang sangat mirip dengan pasar kaki lima di Indonesia. Sejenak kami tidak percaya dengan apa yang kami lihat, sekumpulan orang menjual pakaian di gang kecil tepi jalan. Rasa terkejut kami barangkali dikarenakan telah lama terserang sejenis penyakit ‘inferiority syndrome’ terhadap negara barat–selalu mengaitkan segala macam kemajuan kepada negara barat.
Kami memberanikan diri untuk bertanya kepada para pedagang di situ mengenai pencarian kami. Semua menggeleng kecuali seorang pria tua yang juga berprofesi sebagai pedagang di situ. Mendengar penjelasan hajat kami dia tersenyum kemudian mengarahkan telunjuknya ke sebentuk gerbang yang berada tepat di belakang kami berdiri di seberang jalan. Di atap bangunan itu terpampang jelas tulisan ‘BAR-ON’! Terang saja kami tidak percaya. Adalah amat sangat mustahil jika bangunan itu tempat ibadahnya orang Islam. Sudah menjadi konsensus kalau bar yang notabene tempat orang-orang menenggak minuman keras secara prinsipil bertentangan dengan masjid yang tak lain sebuah rumah ibadah. Lagipula ciri identik sebuah masjid seperti kubah dan menara saja tidak kelihatan. Kami berdua sepakat kakek tua ini ngawur.
Tapi kami penasaran juga. Barangkali kakek tua itu tidak bermaksud untuk memperolok kami. Kami beranjak dari barisan kedai itu, menyeberangi jalan, kemudian menyambangi bangunan yang ditunjuknya tadi. Kaget bukan kepalang kami berdua! Pintu gerbang bangunan itu bertuliskan Kultúrne Centrum Córdoba atau Pusat Islam Cordoba. Di kiri dan kanan gerbang ini diapit oleh toko buku dan toko cinderamata.
Tanpa berpikir dua kali kami memasuki gerbang itu. Di dalamnya terdapat lorong panjang dengan beberapa pintu di kedua sisinya yang mana salah satu pintu tersebut berlabel Spirit of Wine VINOTELA-VINAREN. Di ujung lorong mural seorang gadis bertato menyambut kedatangan kami. Di sebelah gadis itu tertulis TATTOO & PIERCING. Keraguan kami kembali hinggap. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau kami masih berharap tulisan di gerbang tadi bukan sebuah iklan yang salah tempat. Kami bertanya kepada seorang pria muda yang berdiri di pintu toko arak itu. “Pintu masuknya di sebelah sana,” jawabnya seadanya.
Masjidnya sama sekali tidak terlihat sebagaimana lazimnya sebuah masjid. Lebih tepatnya hanya bangunan biasa mirip ruang kelas sekolah. Ukurannya pun tidak begitu besar. Paling cuma bisa menampung sekitar 30 atau 40 jamaah. Di dalam masjid itu terdapat mimbar kayu untuk khutbah Jumat . Di dindingnya tergantung kain hitam bertuliskan Asmaul Husna. Lantainya dialasi dengan karpet merah. Sebuah rak yang penuh dengan Al Quran berdiri kokoh di sudut kanan masjid.
Berdasarkan info yang didapat dari pria yang kami temui di toko arak tadi, usia masjid itu sudah relatif tua. Hanya saja, imbuhnya, pintunya seringkali tertutup. Tapi dia mengakui bahwa segerombolan orang selalu memenuhi masjid itu setiap hari Jumat.
Kami belum puas dengan jawaban pria itu. Dengan smartphone yang ada di genggaman, kami coba menggali lagi informasi lebih dalam mengenai masjid ini. Ketemu! Sebuah situs koran lokal bernama The Slovak Spectator pernah mengulas masjid ini dan menuliskan bahwa bangunan yang posisinya terpencil ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat umat islam sholat berjamaah, tetapi juga menjadi basis pengajaran ajaran Islam dan sesekali sebagai tempat pameran kebudayaan Islam.
Meskipun seolah luput dari perhatian banyak pihak, Islam memiliki sejarah yang cukup panjang di Slovakia. Begitu juga dengan orang islam yang telah lama menetap di sana. Beberapa sumber menyebutkan, pada abad ke-17 bagian kecil dari Slovakia pernah berada di bawah pemerintahan Turki Utsmani sebelum akhirnya Turki menelan kekalahan dalam Perang Vienna.
Tidak mudah untuk memperkirakan secara akurat berapa jumlah penduduk muslim di Slovakia. Menurut data yang dikeluarkan oleh Pew Research Center pada tahun 2010, ada sekiranya 11.000 orang islam di sini atau sekitar 0.2% dari total keseluruhan penduduk Slovakia. Besar kemungkinan angka ini bertambah bila diadakan pendataan ulang sekarang.
Orang-orang Islam yang ada di Slovakia merupakan gabungan dari masyarakat lokal dan pendatang. Untuk yang terakhir, mereka dulunya datang ke sini saat Ceko dan Slovakia masih tergabung ke dalam satu negara yaitu Czechoslovakia. Mereka datang sebagai pelajar dan menetap di sini hingga sekarang.
Meskipun sejarahnya cukup panjang dan penganutnya cukup banyak, hingga saat ini Islam tidak terdaftar sebagai agama yang diakui di Slovakia. Pemerintah Slovakia juga berulang kali menolak permohonan Kultúrne Centrum Córdoba agar diberikan izin resmi. Cukup beralasan bila sampai detik ini Slovakia adalah satu-satunya negara Eropa yang tidak memiliki masjid resmi. Miris!
Pandangan masyarakat Slovakia secara umum terhadap masyarakat muslim juga masih negatif. Berdasarkan hasil bincang-bincang kami dengan penduduk sekitar, alasan utamanya adalah masih kurangnya pengetahuan terhadap Islam dan pemberitaan di banyak media yang seringkali menyudutkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini.
Keberadaan Kultúrne Centrum Córdoba di jantung kota Bratislava merupakan sebuah saksi sejarah betapa umat Islam telah bermukim di Slovakia dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Bukan itu saja, kedepannya Kultúrne Centrum Córdoba juga akan tetap memegang peranan penting dalam meruntuhkan pendapat-pendapat miring tentang Islam yang masih beredar bebas di Slovakia melalui aktivitas keagamaan dan edukasi yang diadakan oleh pusat kebudayaan Islam ini.
Bratislavský hrad (Bratislava Castle) yang berdiri angkuh di puncak bukit sana terlihat gelap. Di atasnya langit kemerahan, seolah murka atas dosanya yang telah dengan sengaja melupakan Kultúrne Centrum Córdoba. Dengan air Danube yang sejuk kami membasuh muka. Penat kami pun hilang.
(*)
Tepi Danube, Slovakia, akhir Maret 2016