Berpuasa di Musim Panas

puasa

Berpuasa di musim panas di kalangan salaf dikenal dengan istilah Zhama’ul Hawajir  ظمأ الهواجر. Artinya rasa haus setelah pertengahan siang.

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Kitab Syu’abul Iman (3933) dari Qatadah, bahwa Amir bin Qais menangis saat menghadapi sakratul. Lalu ditanyakan kepadanya tentang sebab hal itu. Maka dia berkata,

مَا أَبْكِي جَزَعاً مِنَ الْمَوْتِ وَ لاَ حِرْصاً عَلَى الدُّنْيَا وَ لَكِنْ أَبْكِي عَلَى ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ عَلىَ قِيَامِ الَّليْلِ فِي الشِّتَاءِ
“Aku menangis bukan karena takut kematian atau khawatir kehilangan dunia. Tapi aku menangisi zhama’ul hawajir (berpuasa di musim panas) dan qiyamullail di musim dingin (yang akan aku tinggalkan).”

Dalam Mushanaf Abu Syaibah (57) diriwayatkan bahwa saat Ibnu Umar menderita sakit, dia berkata,

مَا تَرَكْتُ خَلْفِي شَيْئاً مِنَ الدُّنْيَا آسَى عَلَيْهِ غَيْرَ ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ وَغَيْرَ مَشْيٍ إِلَى الصَّلاَةِ
“Tidak ada sesuatu yang sangat aku sayangkan untuk aku tinggalkan di dunia ini selain zhama’ul hawajir (berpuasa di musim panas) dan berjalan menuju tempat shalat.”

Diriwayatkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu biasanya berpuasa di musim panas dan berbuka di musim dingin.

  • Umar bin Khattab radhiallahu anhu saat menjelang kematiannya berpesan kepada puteranya; Abdullah.
Dia berkata, “Hendaknya engkau mewujudkan sifat-sifat keimanan.” Lalu beliau menyebutkan yang paling pertama; “Berpuasa saat panas sangat terik di musim panas.”
  • Diriwayatkan bahwa sejumlah wanita shalihat menunggu-nunggu datangnya musim panas untuk melakukan puasa. Ketika ditanyakan latar belakangnya, mereka berkata, “Sesungguhnya sebuah barang, jika harganya murah, semua orang dapat membelinya.” Mereka ingin memberi isyarat bahwa mereka ingin bersungguh-sungguh melakukan suatu amal yang hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang karena beratnya amal tersebut sebagai wujud tingginya cita-cita mereka.
  • Suatu saat Abu Musa Al-Asy’ari berada dalam sebuah perahu. Tiba-tiba ada seseorang yang berseru kepadanya, ‘Wahai penumpang perahu, berhentilah. Maukah aku beritahu kalian dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan atas diri-Nya?’ Abu Musa berkata, ‘Ya, beritahukan kami.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri-Nya bahwa siapa yang membuat jiwanya kehausan (untuk berpuasa) karena Allah pada hari yang panas, maka wajib bagi Allah memberinya minum pada hari kiamat.” Maka sejak saat itu, Abu Musa selalu menunggu-nunggu datangnya musim panas untuk berpuasa.
  • Suatu ketika Al-Hajjaj melakukan safar (perjalanan), lalu dia singgah di sebuah perkampungan antara Mekah dan Madinah. Kemudian dia mengundang orang-orang untuk makan siang bersamanya. Tiba-tiba dilihatnya seorang badui, maka diundangnya orang tersebut untuk makan siang bersamanya. Namun badui tersebut berkata,
“Aku sudah diundang oleh yang lebih mulia darimu, dan aku sudah terima undangannya.’
“Siapa dia?” kata Al-Hajjaj
“Allah Ta’ala. Dia mengundangku untuk berpuasa, maka aku berpuasa.”
“Di hari yang sangat panas seperti ini?” Kata Al-Hajjaj tercengang.
“Ya, aku berpuasa untuk menghadapi hari yang lebih panas dari hari ini…”
  • Abu Darda berkata,

صُومُوا يَوْمًا شَدِيدًا حَرَّهُ لِحَرِّ يَوْمِ النُّشُورِ وَ صَلُّوا رَكْعَتَيْنِ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ لِظُلْمَةِ الْقُبُورِ
“Berpuasalah pada hari yang sangat panas, untuk menghadapi hari kebangkitan, dan shalatlah dua rakaat di kegelapan malam, untuk menghadapi gelapnya kubur.”
  •  Abu Darda berkata,
 لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ شَدِيدِ الْحَرِّ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ وَمَا مِنَّا أَحَدٌ صَائِمٌ إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ  
“Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw di bulan Ramadan pada hari yang sangat panas, sehingga setiap kami meletakkan tangannya di atas kepalanya. Tidak ada di antara kami yang berpuasa selain Rasulullah saw dan Abdullah bin Rawahah.” (Muttafaq alaih).
Allahumma waffiqna bithaa’atika ….
Abdullah Haidir
Sumber:
– Lathaiful Ma’arif; Ibnu Rajab Al-Hambali
– Hilyatul Auliya; Abu Nu’aim Al-Ashbahani.
– Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.